Hari ini saya membaca sebuah berita di Kompas yang membahas mengenai fenomena film-film Indonesia yang dikuasai tema hantu.
Yang menarik bagi saya adalah analisis singkat dalam berita itu, yaitu:
”Kalau menurut pandangan ’arogan’, film-film saat ini sering dianggap bermutu rendah dan indikasi kebodohan. Tetapi, kita harus melihat, kalau penonton itu senang, ya film itu indah bagi mereka. Artinya ada makna bagi mereka, memenuhi ideological ideas mereka, memenuhi kebutuhan atas identitas bahwa ’ini film gue’,” katanya.
Yang menarik dari film-film itu, hampir semua tokoh setannya adalah korban, entah korban pembunuhan, pemerkosaan, atau penganiayaan. ”Mereka hanya bisa membalas dengan menjadi hantu, ini pun hanya dalam film. Jadi ada proses identifikasi dengan para korban,” ujar Seno.
Jadi ada unsur "penonton senang", "memenuhi ideological ideas mereka", dan "memenuhi kebutuhan atas identitas bahwa 'ini film gue'", di mana semua itu mengacu bahwa:
- Seseorang menjadi korban
- Orang itu tidak bisa membalas kejahatan yang terjadi atas dirinya semasa dia hidup
- Orang itu bisa membalas kejahatan tersebut hanya kalau dia meninggalkan kehidupannya yaitu berubah menjadi hantu
Saya pikir, bahwa hal tersebut mencerminkan keadaan di masyarakat kita (terutama kalangan bawah) yang sudah putus asa menghadapi kesulitan dalam menghadapi kehidupan. Mereka menyadari, setiap kali mereka harus berbenturan (baca: mencari keadilan) dengan kekuasaan atau "orang kuat" atau birokrasi, maka hampir bisa dipastikan bahwa akan mengalami kekalahan.
Dan mereka memandang bahwa satu-satunya jalan untuk memenangkan pertarungan itu adalah mengkhayal, yaitu lewat film-film horor versi Indonesia yang menonjolkan korban yang bisa menang dengan kekuatan supernatural (dengan menjadi hantu)
Pendapat berikut (juga bagian analisis berita di Kompas tersebut) mungkin ada kontribusi dengan kondisi film Indonesia yang penuh hantu:
Persoalan klasik lainnya, produser dipaksa secepatnya menghasilkan film untuk dilempar ke pasar. Akibatnya sebagian besar dari mereka mengambil jalan pintas, yakni mengkloning ide cerita dari film-film asing. Sedemikian keringkah sumur kreativitas sineas kita?
Tapi saya sangat yakin bahwa jalan pintas tersebut tidak akan dipakai oleh para produser film kalau film-film tersebut tidak laku di pasar alias masyarakat tidak menyukainya; Dengan perkataan lain, pada akhirnya kekuatan selera masyarakat yang akan menentukan bagaimana produser membuat film-film mereka.
Jadi, walau pun kita jangan melupakan gunting sensor film, saya pikir bahwa orang-orang yang perduli dengan nasib bangsa ini, sebaiknya mulai berpikir bagaimana mencari solusi terhadap kebuntuan di masyarakat, bagaimana masyarakat bisa mendapat keadilan tanpa harus menunggu keajaiban.
Berikut adalah salinan lengkap dari berita tersebut:
Logika Hantu Film Kita
Minggu, 28 Maret 2010 | 04:52 WIB
KOMPAS.com - Darah muncrat dari wajah perempuan itu ketika sekop mendarat di dahinya dan melesak sampai ke belakang kepala. Adegan berganti lagi, kali ini potongan kepala, beserta separuh potongan badan yang berlumuran darah, digeletakkan di meja operasi.
Adegan berganti dengan cepat di layar ”bioskop” di Gedung Lembaga Sensor Film (LSF), Jakarta. Tentu saja tidak ada jalan ceritanya karena itu merupakan guntingan sensor film selama dua tahun terakhir. Hampir semua potongan film itu berisi kekerasan, sadisme, dan seks.
Ketika Wakil Ketua LSF Nunus Supardi menawari makan siang seusai pemutaran film, kami sempat mohon jeda sejenak. Maklumlah di antara potongan film tadi ada adegan mengunyah potongan tubuh.
Inikah cerminan wajah mutakhir film Indonesia? Pertanyaan ini cukup relevan diajukan kembali, terlebih 30 Maret besok merupakan Bulan Film Nasional, yang sekaligus mengingatkan bahwa industri perfilman di negeri ini sudah berusia 60 tahun.
Kita masih ingat tahun 2008 dan 2009 dunia film Indonesia menorehkan sejarah dan rekor-rekor lewat film Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi.
Namun, pada tahun 2010, khususnya sejak rilis Sang Pemimpi medio Desember 2009, belum ada lagi film Indonesia yang menonjol dari segi kualitas dan jumlah penonton. Memang ada lima film yang mewakili Indonesia di International Festival Film Rotterdam, akhir Januari lalu, yakni empat film pendek: Purnama di Pesisir/Full Moon (sutradara Chairun Nissa), Hujan Tak Jadi Datang/It's Not Raining Outside (Yosep Anggi Noen), Janji/La Promesse (Joko Anwar), dan On Broadway (Aryo Danusiri), serta satu film cerita panjang, At The Very Bottom of Everything/Di Dasar Segalanya (Paul Agusta). Namun, semuanya tidak bisa dinikmati secara luas oleh publik Indonesia sendiri karena tidak diputar di bioskop nasional.
Selebihnya, layar bioskop Indonesia pada tiga bulan pertama tahun 2010 didominasi film-film bertema horor dan roman remaja. Judulnya pun seram-seram: Dendam Pocong Mupeng, Kain Kafan Perawan, Suster Keramas, dan lainnya.... Sebagian film bertema horor ini mulai menyisipkan seks untuk menarik minat penonton. Hal ini mengingatkan periode keterpurukan industri film nasional pada dekade 1990-an saat produksi film hanya dipenuhi film-film horor berbumbu seks.
Kekonyolan budaya
Mukhlis PaEni, Ketua LSF, mengatakan, gunting sensor sempat memotong sampai 108 meter sebuah film hantu karena selain adegannya sangat vulgar (antara lain perempuan diperkosa hantu), juga jalan ceritanya tidak masuk akal.
”Ini cerminan betapa konyolnya budaya kita di mana orang yang hidup sudah tidak bisa memberi hiburan sehingga tugas memberi hiburan itu diserahkan kepada hantu-hantu,” kata Mukhlis sambil tertawa.
Toh, pengamat perfilman Seno Gumira Ajidarma tetap optimistis. Menurut dia, dinamika saat ini justru menunjukkan bahwa film Indonesia mulai menjadi tuan rumah di negerinya. Meskipun film-film horor saat ini mendominasi layar bioskop, fenomena tersebut mencerminkan keberadaan film itu dikehendaki dan memberi makna bagi penonton.
”Kalau menurut pandangan 'arogan', film-film saat ini sering dianggap bermutu rendah dan indikasi kebodohan. Tetapi, kita harus melihat, kalau penonton itu senang, ya film itu indah bagi mereka. Artinya ada makna bagi mereka, memenuhi ideological ideas mereka, memenuhi kebutuhan atas identitas bahwa 'ini film gue',” katanya.
Yang menarik dari film-film itu, hampir semua tokoh setannya adalah korban, entah korban pembunuhan, pemerkosaan, atau penganiayaan. ”Mereka hanya bisa membalas dengan menjadi hantu, ini pun hanya dalam film. Jadi ada proses identifikasi dengan para korban,” ujar Seno.
Veronika Kusumaryati yang meneliti film horor Indonesia produksi tahun 1934 sampai 2008 berpendapat, pada masyarakat terjadi semacam transformasi menuju modernitas. ”Akan tetapi, dari sisi mental, mereka masih percaya pada hantu 'tradisional',” kata perempuan lulusan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta ini.
Lemah logika
Tak ada yang tabu untuk memproduksi film horor ataupun cinta-cintaan. Hampir semua pusat industri film dunia juga tak bisa lepas dari ramuan standar: cinta, seks, horor, dan kekerasan. Persoalannya adalah takarannya, kelogisannya, dan keruntunan ceritanya.
Saeful Adha (25), pencinta film dan penggiat komunitas Lensa Creatifilm di Cianjur, Jawa Barat, beranggapan, kelemahan utama sebagian besar film Indonesia adalah isi ceritanya. ”Dari segi teknis pembuatan film, pembuat film kita sudah menguasai, sudah jago. Tetapi, sebenarnya apa, sih, yang ingin mereka sampaikan melalui film-film itu? Kan, tidak pernah jelas,” tutur Adha di sela-sela Kongres Nasional Kegiatan Film Berbasis Komunitas di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Kamis (18/3).
Senada dengan Adha, Joko Narimo (29), penggerak komunitas film Matakaca dari Solo, Jawa Tengah, juga melihat permasalahan utama film-film di Indonesia adalah pada gagasan cerita. ”Ide ceritanya parah! Monoton dan sering ikut-ikutan,” ucapnya.
Persoalan klasik lainnya, produser dipaksa secepatnya menghasilkan film untuk dilempar ke pasar. Akibatnya sebagian besar dari mereka mengambil jalan pintas, yakni mengkloning ide cerita dari film-film asing. Sedemikian keringkah sumur kreativitas sineas kita?
( MYR/BSW/CAN/DHF )
{moscomment}